Wilayah
Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi dengan ketinggian antara 600 sampai
1.400 meter di atas permukaan laut. Karena berada diketinggian tersebut, Tanah
Karo Simalem, nama lain dari Kabupaten ini mempunyai iklim yang sejuk dengan
suhu berkisar antara 16 sampai 17° C. Dibanding
dengan propinsi lain di Indonesia, Sumatera Utara memang unik. Disana ada tujuh
suku berdiam berdasarkan pengelompokan geografis dan etnis, Toba, Karo, Simalungun,
Pakpak, Mandailing, Melayu, Nias dan suku pandatang.
Kabupaten Karo
terletak di dataran Tinggi Tanah Karo. Kota yang terkenal dengan wilayah ini
adalah Berastagi dan Kabanjahe. Banyak keunikan- keunikan yang terdapat pada
masyarakat Karo. Baik dari geogarafis, alam, maupun bentuk masakan.
Berdasarkan
Undang – undang No.5 Tahun 1992 bahwa “Untuk menjaga kelestarian Benda Cagar
Budaya diperlukan langkah pengaturan penguasaan, pemilikan, penemuan,
pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan
benda cagar budaya “.
Berdasarkan
Undang - undang No.11 Tahun 2010 bahwa “Cagar budaya merupakan kekayaan budaya
bagi bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting
artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sehingga
perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya perlindungan,
pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk
sebesar – besarnya kemakmuran rakyat”.
Menurut
UU Cagar Budaya No 11 Tahun 2010 Pasal 5 mengatakan bahwa: “ Benda, bangunan
atau stuktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar
Budaya, ataupun Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria; berusia 50 (
lima puluh ) tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (
lima puluh ) tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan atau kebudayaan, dan memiliki nilai budaya bagi penguat kepribadian
bangsa ”.
Pada masyarakat
Karo terdapat beberapa rumah tradisional yang
dihuni oleh beberapa keluarga, yang penempatan didalam rumah
tersebut diatur menurut ketentuan adat dan didalam rumah itu pun berlaku
ketentuan adat, itulah yang disebut dengan “Rumah Adat Karo”. Rumah adat Karo ini
berbeda dengan rumah adat suku
lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan Rumah adat Karo.
Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo, dan
karena itulah disebut “Rumah Adat”.
Kelebihan rumah
adat Karo terhadap rumah modern lainnya yaitu, rumah sekarang / modern hanya
ditempati oleh satu keluarga sehingga makna persaudaraan mulai terkikis.
Rumah adat tradisional Karo
disebut juga Rumah Siwaluh Jabu karena pada umumnya dihuni oleh Waluh Jabu (
delapan keluarga ), selain rumah siwaluh jabu ada juga rumah adat yang lebih
besar yaitu Sepuludua Jabu ( dua belas keluarga ) yang dulu terdapat di kampung
Lingga, Sukanalu.
Rumah adat yang
terbesar adalah Rumah Adat Sepuluenem Jabu yang pernah ada di Kampung Juhar dan
Kabanjahe,
tetapi sekarang
Rumah Adat Sepuludua Jabu dan Sepuluenem Jabu sudah tidak ada lagi. Setiap jabu ( keluarga
) menempati posisi di rumah adat sesuai
dengan struktur sosialnya dalam keluarga.
Pembangunan rumah adat Karo tidak
terlepas dari jiwa masyarakat Karo yang tak lepas dari sifat kekeluargaan dan
gotong-royong. Kegiatan gotong-royong ini terutama digerakkan oleh Rakut Sitelu ( sukut,
kalimbubu dan anak beru ) yang dibantu oleh Anak Kuta ( masyarakat kampung
setempat ).
Pembangunan
sebuah rumah adat pada zaman dahulu
harus mengikuti ketentuan adat dan tradisi masyarakat Karo yang telah ada
secara turun-temurun. Sebelum membangun rumah adat diawali
dengan ‘Runggu’ ( musyawarah ) dalam menentukan hari baik untuk memulai
pembangunan. Pada hari
pembangunan diadakan sebuah upacara untuk meletakkan pondasi rumah dan meminta
petunjuk dan perlindungan dari para leluhur orang Karo agar pelaksanaan
pembangunan berjalan dengan baik.
Payung Bangun [
1970 ] menjelaskan bahwa, rumah Batak
biasanya didirikan di atas tiang kayu yang banyak, berdinding miring, beratap
ijuk. Letaknya memanjang kira - kira 10 - 20 meter dari timur ke barat. Pintunya
ada pada sisi barat dan timur pada pada rumah Karo dan Simalungun, atau pada
salah satu ujung lantai pada rumah Toba ( masuk dari kolong ). Pada bagian
puncak yang menjulang ke atas di sebelah barat dan timur di pasang tanduk
kerbau atau arca muka manusia dan puncak yang melengkung membentuk setengah
lingkaran ( kecuali rumah empat ayo pada orang Batak Karo ). Pada bagian
depan ( barat dan timur ) rumah Karo yang disebut ayo ada ornamentasi geometris dengan
warna- warna merah , putih, kuning dan hitam.
Satu bagian
yang merupakan keistimewan dari rumah Karo dan yang tidak ada pada Rumah Batak yang lain adalah
semacam teras dari bambu yang di susun di serambi muka. Teras ini disebut
ture yang pada malam harinya berfungsi pula sebagai tempat pertemuan dari gadis
rumah itu dengan pemuda yang datang datang mengunjunginya.
Letak rumah adat Siwaluh Jabu selalu
disesuaikan dari arah timur ke barat yang disebut
Desa Nggeluh, di sebelah timur disebut
Bena Kayu ( pangkal kayu ) dan sebelah barat disebut Ujung Kayu. Sistem Jabu
dalam rumah adat Siwaluh Jabu
mencercerminkan kesatuan organisasi, dimana terdapat pembagian tugas yang tegas
dan teratur untuk mencapai keharmonisan bersama yang dipimpin Jabu Bena Kayu /
Jabu Raja.
Gambaran Rumah Adat Siwaluh Jabu
Menurut Sembiring, Deking dalam buku ( 2010 ) menjelaskan
bahwa rumah adat Karo sangat
terkenal akan keindahan seni arsitekturnya yang khas, gagah dan kokoh serta dihiasi dengan ornamen - ornamennya yang kaya
akan nilai - nilai filosofis. Bentuk, fungsi dan makna Rumah Adat Karo
menggambarkan hubungan yang erat antara masyarakat Karo dengan sesamanya dan
antara manusia dengan alam lingkungannya. Pemilihan bahan untuk membangun
rumah adat Karo serta
proses pembangunannya yang tanpa menggunakan paku, besi atau pengikat kawat,
melainkan menggunakan pasak dan tali ijuk semakin menambah keunikan Rumah Adat
Karo”.
Urutan
ruangan dalam rumah Siwaluh jabu adalah sebagai berikut :
·
Jabu
bena kayu: yaitu ruangan di depan sebelah kiri, didiami oleh pihak marga tanah
dan pendiri kampung. Ia merupakan pengulu atau pemimpin rumah tersebut.
·
Jabu
sedapur bena kayu: yaitu ruangan berikutnya yang satu dengan jabu bena kayu,
juga dinamai Sinenggel-ninggel. Ruang ini didiami oleh pihak senina yakni
saudara pemimpin rumah yang bertindak sebagai wakil pemimpin rumah tersebut.
Sedapur artinya satu dapur, karena setiap 2 ruangan maka di depannya terdapat
dapur yang dipakai untuk 2 keluarga.
·
Jabu
ujung kayu: dinamai Jabu Sungkun Berita, didiami oleh anak beru tua, yang
bertugas memecahkan setiap masalah yang timbul.
·
Jabu
sedapur ujung kayu: yaitu ruangan sedapur dengan jabu ujung kayu, dinamai Jabu
Silengguri. Jabu ini didiami oleh anak beru dari jabu sungkun berita.
·
Jabu
lepan bena kayu: yaitu ruangan yang terletak berseberangan dengan jabu bena
kayu, dinamai jabu simengaloken didiami oleh biak senina.
·
Jabu
sedapur lepan bena kayu: yaitu ruangan yang sedapur dengan jabu lepan bena
kayu, didiami oleh senina sipemeren atau siparibanen.
·
Jabu
lepan ujung kayu, didiami oleh kalimbubu yaitu pihak pemberi gadis, ruangan ini
disebut jabu silayari.
·
Jabu
sedapur lepan ujung kayu yaitu ruangan yang sedapur dengan jabu lepan ujung
kayu.
Pembangunan rumah adat Karo tidak terlepas
dari jiwa masyarakat Karo yang tak lepas dari sifat kekeluargaan dan gotong-royong. Rumah adat menggambarkan
kebesaran suatu kuta (kampung),
karena dalam pembangunan sebuah rumah adat membutuhkan
tenaga yang besar dan memakan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu
pembangunan rumah adat dilakukan
secara bertahap dan gotong royong yang tak lepas dari unsur kekeluargaan.
Kegiatan gotong - royong ini terutama digerakkan oleh Rakut Sitelu (
sukut, kalimbubu dan anak beru ) yang dibantu oleh Anak Kuta ( masyarakat
kampung setempat ).
Ketika rumah adat telah
selesai dibangun, maka diadakan lagi upacara Mengket Rumah Mbaru ( memasuki
rumah baru ). Upacara ini juga diawali dengan Runggu, untuk menentukan hari
baik untuk mengketi ( mendiami ) rumah baru tersebut. Pada hari yang ditentukan
diadakan upacara pengucapan syukur kepada leluhur, dan memohon agar rumah yang
telah selesai dibangun dapat bertahan lama dan para penghuninya hidup harmonis
serta menjadi berkat dan dijauhkan dari bencana.
Bangunan rumah adat Karo memiliki
dua belas, delapan, enam dan empat keluarga yang hidup berdampingan dalam
keadaan damai dan tenteram. Rumah warisan budaya Karo berusia ratusan tahun dan
terdapat di sejumlah desa di Kabupaten Karo, termasuk di Desa Lingga.
Bahan bangunan rumah adat Siwaluh Jabu terbuat ini dari kayu
bulat, papan, bambu dan beratap ijuk tanpa menggunakan paku yang dikerjakan
tenaga arsitektur masa lalu. Rumah adat Siwaluh
Jabu memiliki dua pintu, yang letaknya di bagian depan dan yang satunya lagi di
belakang. Jumlah jendelanya ada delapan. Empat ada di samping kiri
dan kanan. Dan empatnya lagi ada di bagian depan dan belakang. Organisasi rumah
adat ini berpola linier karena ruangannya menunjukkan bentuk garis. Pada
beberapa bagian rumah terdapat relief yang dicat dengan warna merah, putih,
kuning, hitam dan biru. Bangunan-bangunan itu berbentuk khusus yang
melambangkan sifat-sifat khusus dan kekhasan yang di miliki oleh suku Karo pada
umumnya.
Kondisi rumah adat Karo tersebut saat ini sangat
memprihatinkan. Di Desa Lingga terdapat sekitar 28 Rumah Adat. Kini
tinggal 2 buah lagi yang layak huni. Yakni Rumah Gerga ( Raja ) dan Rumah Belang ayo.
Sekitar 5 rumah adat disana berdiri miring dan hampir rubuh. Sedangkan rumah
adat lainnya telah rubuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar